Sabtu, 27 Agustus 2011

Aliran Sesat


a.     Du'at 'ala Abwabi Jahannam
 Beberapa bulan lalu Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan sebelas butir fatwa, di antaranya ;
Pelarangan aliran Ahmadiyah di Indonesia
Mengharamklan Sekularisme, liberalisme dan Pluralisme agama
Bagaikan orang tersayat sembilu, para penganjur kebatilan (du'at 'ala abwabi Jahannam) meraung, merintih, dan mengeluarkan kata-kata, bahkan makian kepada lembaga keislaman tertinggi di Bumi Pertiwi ini.
Abdurrahman Wahid, yang lebih dikenal Gus Dur, membisikkan kepada Preisden bahwa fatwa tersebut bersifat tidak mengikat, karena Indonesia adalah Negara Pancasila dan bukan Negara Islam. Dan dalam acara perayaan Maulid Gus Dur (baca: ulang tahun) yang lalu, semboyan "hidup Sekularisme", "hidup Pluralisme" pun dikumandangkan sebagai ganti bacaan QasidahBurdah dalam perayaan Maulid Nabi. Juga sengaja diundang dalam perayaan tersebut ketua Jemaat Ahmadiyah se-Indonesia.
Ulil Abshar Abdalla -kafa nallahu syarrahu- melontarkan kata "tolol" untuk Ketua MUI.
Dan banyak lagi orang-orang yang semazhab dengan mereka yang angkat bicara, mengeluarkan argument pembelaan terhadap aliran Ahmadiyah, Sekularisme, liberalisme dan Pluralisme, yang seolah-olah mereka adalah kelompok tertindas, teraniaya, terzhalimi. Syubhat-syubhat ini dikemas sedemikian rupa oleh media informasi yang mayoritasnya berpihak kepada kebatilan.
 Baru-baru ini, Adnan Buyung Nasution -pengacara Nur Mahmudi dalam kasus penganuliran kemenangannya dalam Pilkada Depok oleh Pengadilan Tinggi Jawa Barat- menyesalkan telah membantu Nur Mahmudi, karena ketua DPR Komisi VII yang kebetulan berasal dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mendukung fatwa MUI dan menolak pengaduan Ahmadiyah. Yang dalam kasus ini Adnan Buyung juga bertindak sebagai pengacara Ahmadiyah, dia menyatakan bahwa Ahmadiyah terzhalimi.  
b.Siapa yang menzhalimi dan terzhalimi
Benarkah jemaat Ahmadiyah, gerakan Sekularisme, Pluralisme, Liberalisme dizhalimi? ataukah mereka sebenarnya yang menzhalimi? Mari kita coba mendudukkan persoalannya seproposional mungkin.
Berbuat zhalim yaitu: merampas hak seseorang atau sekelompok orang.
Mereka berargumen bahwa pelarangan dan pengharaman aliran mereka berarti merampas hak kebebasan mereka berpendapat, konklusinya bahwa pelarangan tersebut berarti penzhaliman terhadap mereka.
Untuk mengetahui sejauh mana kebenaran konklusi ini, mari kita uji kebenaran premis yang mereka gunakan.
Benarkah pelarangan dan pengharaman aliran mereka merampas hak mereka? Mari kita lihat kenyataan sebenarnya!
Islam yang masuk ke Indonesia pada abad ke-!3 yang dianut oleh nenek moyang kita dan yang kita anut sampai sekarang serta dilindungi negara adalah islam yang menyakini :
Al Qur'an sebagai kitab suci yang tidak boleh  ditambah atau dikurangi
Muhammad SAW adalah Nabi yang terakhir.
Hanya islamlah agama yang benar, dan Allah tidak menerima agama selain islam
Rukun iman ada enam
Dan lain-lain yang diketahui oleh setiap muslim  secara aksiomatis
Inilah akidah umat islam Indonesia, yang merupakan hak azazi yang dilindungi oleh Negara R.I.
Tapi kemudian di awal abad ke-20 muncul aliran Ahmadiyah di India lalu menjalar ke Indonesia, dan di awal tahun 70-an bergema gerakan Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme yang menginjak-injak hak (akidah) umat islam dengan pernyataan-pernyataan, antara lain; semua agama sama dan semua agama benar, Mirza Gulam yang lahir di India adalah nabi, rukun iman hanya ada lima, takdir tidak ada, hak waris anak laki-laki sama dengan anak wanita, wanita boleh menjadi imam dan khatib shalat Jumat, dsb.
Lalu umat islam yang hak mereka dirampas dan dinjak-injak tersebut meminta pemerintah untuk menindak dan menghentikan kezhaliman terhadap mereka (umat islam), akan tetapi belum lagi pemerintah menindak mereka (kaum kebatilan), mereka lebih dahulu berteriak bahwa mereka dizhalimi. Dalam kehidupan sehari-hari logika yang mereka gunakan ini sering disebut "maling teriak maling".
Bila premise yang mereka gunakan tidak benar, tentulah konklusinya menjadi salah.
Jadi tidak benar mereka yang dizalimi, akan tetapi merekalah yang menzalimi.
Pagari Akidah Anda!
Dalam laporannya, Ahmadiyah mengaku bahwa jemaat mereka di Indonesia berjumlah ± 200.000 jiwa, ini artinya dalam setiap 200 orang islam di Indonesia, 1 orang telah disesatkan oleh Ahmadiyah, ini kalau kita katakan Muslim di Indonesia 200 juta orang, padahal jumlah sebenarnya kurang dari itu.
Belum lagi yang disesatkan oleh aliran-aliran lainnya, semisal; liberalisme, sekularisme, sosialisme, LDII, Syi'ah, inkar sunnah, Jamaah Salamullah, Islam murni, dan lain-lain.
Kenyataan ini membuat bulu kuduk kita berdiri, kita hidup di zaman fitnah dimana seseorang beriman di waktu pagi dan menjadi kafir di waktu sore, beriman di waktu sore dan menjadi kafir di waktu pagi.
Oleh karena itu lakukanlah langkah-langkah berikut, semoga Allah menetapkan kaki kita menapaki jalan-Nya yang lurus :
a. Kenalilah agama anda lebih mendalam lagi.
Manfaatkan keberadaan anda di perantauan ini dengan menuntut ilmu, mengikuti majelis-majelis taklim, kuliah studi islam, membaca buku islami, mendengarkan kaset-kaset ceramah agama, yang dapat menambah pengetahuan anda tentang agama .Allah, dan menambah kedekatan anda dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah 
Kami pernah bertemu dengan salah seorang da'i aliran sesat, ketika kami minta untuk tilawah Al Qur'an ternyata bacaannya seperti orang yang belum tamat belajar Iqra', dengan demikian kami yakin dia disesatkan karena ketidaktahuannya (kealpaannya) dengan agamanya, kemudian karena sedikit bisa berdiplomasi maka dinobatkan sebagai da'i.
b. Pererat hubungan anda dengan ustadz (orang yang anda yakini kebenaran akidahnya).
Mungkin anda tidak sempat mengikuti majelis taklim dan kuliah, akan tetapi anda dapat mendiskusikan (bertanya) kepada para ustadz-ustadz melalui telepon atau sms untuk hal-hal yang musykil bagi anda dalam masalah agama.
Logikanya, andai seekor anjing disanjung Allah dalam Kitab Suci-Nya lantaran keakrabannya dengan 7 orang pemuda shalih, apatah lagi seorang bani Adam yang memang telah dimuliakan Allah.
c. Bertemanlah dengan orang-orang yang mengingatkan anda akan Allah.
Kalau saja anda tidak bisa menghadiri majelis taklim, kuliah serta sungkan bertanya kepada para ustadz, pererat hubungan anda dengan teman sejawat yang mengikuti aktivitas-aktivitas keislaman tersebut, semoga anda mendapatkan bau wangi dan wewangian dari mereka di Dunia dan Akhirat.
Jangan sampai anda beranggapan bahwa tidak akan terjerat oleh kelompok-kelompok sesat, walau tanpa melakukan salah satu langkah-langkah di atas, dalam kata lain: anda menghindar dari majlis taklim, tidak bertanya kepada ustaz dan tidak berteman dengan orang-orang aktif  telah bersabda bahwa serigala dalam keislaman. Karena dalam permisalannya Nabi  hanya memangsa domba yang tertinggal dari rombongan.
 d. Perbanyaklah mengucapkan do'a:
Ya Muqallibal Qulub Tsabbit Qalbi 'ala Diinik
Wahai Yang memutar balikkan hati, tetapkanlah hati berada di atas agama-Mu
Akhirnya semoga Allah menghidupkan kita dalam islam, mewafatkan kita dalam iman, menyatukan kita di akhirat bersama para Nabi, syuhada Allah orang-orang shalih dan mengembalikan kaum muslimin yang tersesat ke pangkal jalan. Amin.
Go to the Top

Tafsir Kiblat (Wijhatun..QS Al -Baqarah:144 - 152)


Dari Hal Kiblat I
Pada ayat 115 (juzu' 1) telah difirmankan dengan jelas, bahwasanya baik timur ataupun barat, baik jurusan yang mana saja, semuanya itu adalah kepunyaan Allah, dan ke mana sajapun menghadap, di sana akan diterima juga oleh wajah Allah. Sebab Allah tidak menempati sesuatu, bahkan Dia Maha Luas dan Maha Mengetahui. Oleh sebab itu, pada pokoknya ke mana sajapun kita menghadapkan muka di kala shalat, yang kita hadapi tetaplah wajah Allah, asal kita kerjakan dengan khusyu'.

Tetapi agama bukanlah semata-mata urusan peribadi. Agamapun adalah kesatuan seluruh insan yang sefaham dalam iman kepada Allah dan ibadat dan amal shalih. Terutama sekali dalam mengerjakan shalat. Kalau sekiranya semua orang menghadap ke mana saja tempat yang disukainya, meskipun yang disembah hanya satu, di saat itu juga mulailah ada perpecahan ummat tadi. Maka dalam Islam bukan saja cara menyembah Allah itu diajarkan dalam waktu-waktunya yang tertentu, dengan rukun dan syaratnya yang tertentu, tempat menghadapkan mukapun diatur jadi satu.

Menurut riwayat yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim daripada al-­Bara', bahwa Nabi s.a.w, mula datang ke Madinah, beliau menepat pada akhwalnya (keluarga dari pihak ibu) dari kaum Anshar. Di waktu mula datang itu beliau shalat menghadap ke Baitul Maqdis, lamanya l6 atau 17 bulan. Sedang beliau rindu sekali kiblatnya itu menghadap ke Baitullah (Ka'bah). Setelah permohonan beliau itu dikabulkan Tuhan, maka shalat yang mula dihadapkannya ke Ka'bah itu ialah shalat Ashar. Suatu kaum menjadi ma'mum di belakang beliau. Setelah selesai shalat, searang di antara ma'mum itu pergi ke luar mesjid. Maka bersumpahlah orang itu sambil berkata:
"Saya bersaksi di hadapan Allah, bahwa saya baru saja selesai shalat bersama Nabi s.a.w. menghadap ke Ka'bah."
Mendengar perkataan orang itu maka sekalian orang yang shalat itu memalingkan mukanya ke Ka`bah dengan tidak memutusi shalatnya.

Sampai sekarang mesjid tempat orarng mengalih kiblat sedang shalat itu masih tetap dijadikan mesjid peringatan sejarah bernama mesjid Zul Kiblataini. Yang empunya dua kiblat.
Inilah satu riwayat yang berkenaan dengan perputaran kiblat itu, disertai lagi oleh bebarapa Hadits yang lain.
Menurut satu riwayat dari lbnu Abi Hatim , lbnu Jarir, Ibnu Mundzir dan al-Baihaqi, mereka mengatakan bahwa lbnu Abbas pernah berkata bahwa nasikh­ mansukh yang pertama terdapat dalam al-Quran, ialah urusan perpindahan kiblat itu , tetapi setengah ahli lagi berpendapat bahwa dalam urusan ini tidak terdapat nasikh-mansukh. Sebab bila Nabi Muhammad mulanya menghadap Kiblat! Baitul Maqdis, adalah menurut ijtihad beliau sendiri , sebeium ada ketentuan dari Tuhan. Sebab selama ini kedudukan Baitul Maqdis masih istimewa dan Ka'bah sendiri masih penuh dengan berhala.

Menurut riwayat lbnu Abi Syaibah dan Abu Daud dan al-Baihaqi pula dari lbnu Abbas, katanya ketika Rasulullah masih di Makkah sebelum pindah ke Madinah, kalau shalat, beliau menghadap kiblat ke Baitul Maqdis, tetapi Ka'bah di hadapan beliau. Dan setelah pindah ke Madinah, beliau langsung berkiblat ke Baitul Maqdis 16 bulan setelah itu Allah memalingkan kiblatnya ke Ka'bah. Untuk mengetahui duduk perkara, di sini kita salin beberapa riwayat berkenaan dengan soal kiblat itu.

Tentu kita telah mengerti dasar bermula di ayat 115 tadi. Jika ummat dipimpin menyatukan haluan kiblatnya, baik di Baitul Maqdis atau ke Masjidil Haram, bukanlah karena Tuhan Allah bertempat di kedua tempat itu. Atau mulanya Tuhan bertempat di Baitui Maqdis kemudian pindah ke Ka'bah.

Bukan! Kiblat-kiblat itu adalah tempat biasa. Alam biasa dan batu biasa di Baitul Maqdis memang ada Sakhrah, yaitu batu yang menurut riwayat banyak kejadian yang berhubung dengan diri Nabi-nabi pada batu itu. Tetapi diapun batu biasa. Ada orang yang membuat dongeng bahwa batu itu tergantung tidak bertali ke langit. Teranglah bahwa itu dongeng yang tidak-tidak yang hanya dapat dipercaya oleh orang bodoh-bodoh yang belum pernah melihatrrya ke sana. Batu itu tidak tergantung, melainkan terlekat di atas bumi, berlobang sedikit ke dalam, sebagai batu-batu gua di mana-mana di dunia ini.

Dan Ka'bah pun bukan batu akik atau yaqut yang didatangkan dari syurga Maka bukanlah karena batu-batu itu istimewa sangat, sehingga telah tergantung di antara alam dengan Tuhan, maka dianya yang dijadikan tempat buat kiblat , Ka`bah sendiri berkali-kali telah rusak. Di tahun 1957 pernah ada retak di Ka'bah, lalu dicari batu yang bagus-bagus dan ditambah dengan semen; bukan semen dari syurga, tetapi semen dari pabrik.

Enambelas atau tujuhbelas bulan lamanya berkiblat ke Baitul Maqdis Maka Rasulullah s.a.w: sangatlah rindu jika Tuhan Allah menurunkan perintah wahyu kembali menyuruh berkiblat ke Masjidil Haram yang di Makkah. Kerinduan beliau itu sudah dapat dimaklurni dari wahyu-wahyu yang telah turun terlebih dahulu mengatakan bahwa rumah yang di Makkah itu diperintahkan Tuhan kepada Ibrahim buat mendirikannya.

Maka oleh sebab Nabi Muhammad s.a.w. berkewajiban melanjutkan ajaran Ibrahim itu, yaitu menyerah diri kepada Allah, yang menjadi pokok asal dari sekalian agama, niscaya akan datanglah masanya, datang perintah menghidupkan kiblat yang asli itu kembali. Sebab dialah rumah tempat beribadat kepada Allah Yang Esa yang pertama sekali dibangunkan untuk manusia (lihat Surat ali lmran, Surat 3 ayat 96).
Apatah lagi di dalam Strategi perjuangan, kepindahan Rasulullah s.a.w. ke Madinah ialah dengan tujuan memperkuat kaum Muslimin, untuk merebut Ka`bah itu kelak dari kaum musyrikin dan membersihkannya daripada berhala. Dengan segeranya kiblat dikembalikan ke sana, maka semangat buat merebut­nya itu bertambah berkobar dalam dada seluruh ummat Tauhid yang telah mulai disusun di Madinah.

Tuhan Allah Yang Maha Mengetahui akan segala rahasia hati hambaNya dan telah mengetahui keinginan RasulNya itu memberi ingatlah kepada Nabi s.a.w. bahwa peralihan kiblat itu kelak akan membawa suatu keributan lagi di kalangan orang-orang yang bodoh-bodoh. Inilah ayatNya:

سَيَقُوْلُ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلاَهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِيْ كَانُوْا عَلَيْهَا
"Akan berkata yang bodoh-bodoh dari manusia itu; Apakah yang memalingkan mereka itu dari kiblat mereka yang telah ada mereka padanya?" (pangkal ayat 142).

Tadi di atas telah kita salinkan beberapa Hadits yang menyatakan bahwa setelah Rasulullah s.a.w. berhijrah ke Madinah, kiblat yang beliau hadapi ialah Baitul Maqdis. Setelah 16 atau 17 bulan, lalu dipalingkan kiblat itu ke Ka'bah. Di dalam ayat ini telah diperingatkan kepada Rasulullah s.a.w. bahwa sebelum kiblat itu beralih , maka orang-orang yang bodoh di kalangan manusia itu akan menjadikannya percakapan yang ribut, mengapa dialihkan kiblatnya, padahal selama ini dia berkiblat ke Baitul Maqdis. Di dalam ayat ini disebut Sufahaau' , sebagai kata jama` dari safih, yaitu orang-orang bodoh yang berfikiran dangkal , yang bercakap asal bercakap saja, tetapi tidak sanggup mempertanggung­jawabkan apa yang diucapkannya.

Mereka bercakap hanya asal keluar saja. Ada yang berkata bahwa peralihan kiblat ini ialah karena Muhammad itu berfikir kurang matang , sebentar menghadap ke sana sebentar menghadap ke mari. Dan ada pula yang berkata bahwa Muhammad hendak mengajak manusia kembali kepada agama nenek-moyangnya. Sebab di waktu itu di Ka'bah masih didapati berhala-berhala. Semuanya ini adalah lidah yang tidak bertulang. Maka di dalam ayat ini Nabi diberi peringatan, bahwa sebagaimana sudah terbiasa, apabila seorang Rasul atau pemimpin membuat suatu perobahan baru, sudah pasti akan ada ribut-ribut.

Tetapi ribut-ribut hanya akan datang dari orang-­orang bodoh , orang yang tidak bertanggung jawab. Baik penduduk Madinah yang memang munafik ataupun orang Yahudi yang berkeliaran di Madinah yang tidak marasa senang hati, karena dengan peralihan kiblat dari Baitul Maqdis itu , kemegahan mereka akan runtuh. Sebab menurut rnereka, sumber agama Yahudi itu adalah Baitul Maqdis dan di Baitul Maqdis pula timbul Nabi-nabi dan Rasul-rasul dari Bani Israil. Dengan demikian orang dapat mengambii kesan bahwa ajaran Nabi Muhammad itu hanyalah tiruan atau jiplakan dari agama mereka saja.

Kepada Nabi Muhammad diperingatkan bahwa kata-kata dari orang-orang yang bodoh itu tidak perlu diacuhkan. Yang akan diberi penerangan bukanlah si bodoh dan dungu atau bebal, melainkan orang yang berfikir waras. sebab itu bersabdaAllah dalam lanjutan ayat itu:

قُلْ ِللهِ الْمَشْرِقُ وَ الْمَغْرِبُ
"Katakanlah : Kepunyaan Allah timur dan barat. "

Artinya bahwasanya di sisi Tuhan, baik barat ataupun timur, baik utara ataupun selatan, adalah sama saja. Segala penjuru dunia ini Tuhan yang empunya. Jika di waktu yang sudah-sudah orang berkiblat ke Baitul Maqdis bukanlah berarti bahwasanya Allah Ta'ala bertempat di Baitui Maqdis dan jika kemudian dialihkan ke Ka`bah, bukan pula berarti bahwa Allah bertempat di Ka'bah atau telah berpindah ke sana. Soal peralihan tempat bukanlah soal penempatan Tuhan di salah satu tempat:

يَهْدِيْ مَن يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ
"Dia memberi petunjuk siapa yang Dia kehendaki, kepada jalan yang lurus." (ujung ayat 142).

Ayat ini memberi kejelasan bahwa soal beralih atau tetapnya kiblat, bukanlah berarti karena tempat itu yang kita sembah. Timur dan barat, utara dan selatan dan penjuru yang manapun adalah kepunyaan Allah.
Di antara Baitul Maqdis dengan Baitullah al-Haram di Makkah tidak ada perbedaan pada sisi Allah. Keduanya sama-sama terdiri dari batu dan kapur yang diambil dari bumi Allah. Tujuan yang terutama adalah tujuan hati, yaitu memohonkan petunjuk jalan yang lurus kepada Tuhan, yang Tuhan bersedia memberikannya kepada barangsiapa yang Dia kehendaki. Dengan keterangan ini dijelaskan duduk soal yang bisa mengacaukan fikiran, karena kacau-balau dari cara berfikir orang-orang yang bodoh.

Tegasnya, meskipun tetap meng­hadap ke Baitul Maqdis, ataupun telah beralih kepada Ka'bah, namun kalau hati tidak jujur, kalau langkah yang ditempuh di dalam hidup adalah langkah curang, beralih atau tidak beralih kiblat, tidaklah akan membawa perobahan bagi jiwa.

Qleh sebab itu percakapan dari orang-orang yang bodoh janganlah sampai membawa orang-orang yang berakal cerdas terpesona daripada maksud agarna yang bermula.

Jangan sarnpai orang yang berakal fikiran cerdas meninggalkan pokok (prinsip) karena terbawa oleh aliran yang kacau dari orang bodoh, lalu bertengkar pada soal ranting (detail).
Untuk itu dijelaskan lagi bagaimana kedudukan ummat Muhammad di dalam menegakkan jalan lurus yang dikehendaki itu. Berkatalah ayat selanjut­nya.

وَ كَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا
"Dan demikianlah telah Kami jadikan kamu suatu ummat yang di tengah." (pangkal ayat 143).

Dan ada dua ummat yang datang sebelum ummat Muhammad, yaitu ummat Yahudi dan ummat Nasrani. Terkenallah di dalam riwayat perjalanan ummat ummat itu bahwasanya ummat Yahudi terlalu condong kepada dunia, kepada benda dan harta. Sehingga di dalam catatan kitab Suci mereka sendiri, kurang sekali diceritakan dari hal soal akhirat. Lantaran itulah maka sampai ada di antara mereka yang berkata bahwa kalau mereka masuk neraka kelak , hanyalah beberapa hari saja, tidak akan lama.

Sebaliknya dari itu adalah ajaran Nasrani yang lebih mementingkan akhirat saja, meninggalkan segala macam kemegahan dunia, sampai mendirikan biara-­biara tempat bertapa, dan menganjurkan pendeta-pendeta supaya tidak kawin. Tetapi kehidupan rohani yang sangat mendalam ini akhirnya hanya dapat dituruti oleh golongan yang terbatas, ataupun dilanggar oleh yang telah me­nempuhnya, sebab berlawanan dengan tabiat kejadian manusia. Terutama setelah agama ini dipeluk oleh bangsa Romawi dan diakui menjadi agama kerajaan.

Sampai kepada zaman kita inipun dapatlah kita rasakan betapa sikap hidup orang Yahudi. Apabila disebut Yahudi, teringatlah kita kepada kekayaan benda yang berlimpah-limpah, menternakkan uang dan memakan riba. Dan bila kita baca pelajaran asli Kristen, sebelum dia berkecimpung ke dalam politik kekua­saan, akan kita dapatilah ajaran Almasih yang mengatakan bahwasanya orang kaya tidak bisa masuk ke dalam syurga, sebagaimana tidak bisa masuk seekor unta ke dalam liang jarum.

Maka sekarang datanglah ayat ini memperingatkan kembali ,ummat Muhammad bahwa mereka adalah suatu ummat yang di tengah, menempuh jalan lurus; bukan terpaku kepada dunia sehingga diper­hamba oleh benda dan materi, walaupun dengan demikian akan menghisap darah sesama manusia. Dan bukan pula hanya semata-mata mementingkan rohani, sehingga tidak bisa dijalankan, sebab tubuh kita masih hidup. Islam datang mempertemukan kembali di antara kedua jalan hidup itu. Di dalam ibadat shalat mulai jelas pertemuan di antara keduanya itu; shalat dikerjakan dengan badan, melakukan berdiri ruku` dan sujud, tetapi semuanya itu hendak­lah dengan hati yang khusyu.

Nampak pula dalam peraturan zakat harta benda. Orang baru dapai berzakat apabila dia kaya raya, cukup harta menurut bilangan nisab. Dan bila datang waktunya hendaklah dibayarkan kepada fakir-miskin. Artinya, carilah harta benda dunia ini sebanyak-banyaknya , dan kemudian berikanlah sebaha­gian daripadanya untuk menegakkan amal dan ibadat kepada Allah dan untuk ­membantu orang yang patut dibantu.

Nampak pula pada peraturan di hari Jum'at. Di hari itu dari pagi bolehlah bekerja keras mencari rezeki, berniaga dan bertani dan lain-lain, tetapi setelah datang seruan Jum'at hendaklah segera berangkat menuju tempat shalat, untuk menyebut dan mengingat Allah. Dan setelah selesai shalat, segeralah keluar dari mesjid untuk bekerja dan bergiat lagi.

Ini menunjukkan jalan tengah di antara tiga agama yang serumpun. Dalam pada itu secara luas dapat pula kita tilik pandangan hidup barat yang - dipelopori oleh alam fikiran Yunani yang lebih mementingkan fikiran (filsafat), dan alam fikiran yang dipelopori oleh India purba yang memandang bahwa dunia ini adalah maya semata-mata , atau khayal. Sejak dari ajaran Upanisab sampai kepada ajaran Veda, dari Persia dan India, disambung lagi dengan ajaran Budha Gautama, semua lebih mementingkan kebersihan jiwa, sehingga jasmani dipandang sebagai jasmani yang menyusahkan.

Bangkitnya Nabi Muhammad s.a.w. di padang pasir Arabia itu, adalah membawa ajaran bagi membangunkan ummatan wasathan, suatu ummat yang menempuh jalan tengah, menerima hidup di dalam kenyataannya. Percaya kepada akhirat, lalu beramal di dalam dunia ini. Mencari kekayaan untuk membela keadilan, mementingkan kesihatan rohani dan jasmani, karena kesi­hatan yang satu bertalian dengan yang lain. Mementingkan kecerdasan fikiran, tetapi dengan menguatkan ibadat untuk menghaluskan perasaan. Mencari kekayaan sebanyak-banyaknya, karena kekayaan adalah alat untuk berbuat baik. Menjadi Khalifah Allah di atas bumi, untuk bekal menuju akhirat. Karena kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Selama ummat ini masih menempuh Shiratal-Mustaqim, jalan yang lurus itu, selama itu pula mereka akan tetap menjadi ummat jalan tengah.

Maka berkata ayat selanjutnya:

لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ
"Supaya kamu menjadi saksi-saksi atas manusia. "

Menurut Imam az-Zamakhsyari di dalam tafsirnya al-Kasysyaf, ummat Muhammad sebagai ummat yang jalan tengah, akan menjadi saksi atas ummat Nabi-nabi yang lain tentang kebenaran risalah Rasul-rasul yang telah disampaikan kepada ummat mereka masing-masing.

Dan berkata lanjutan ayat:

وَ يَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا
"Dan adalah Rasul menjadi saksi (pula) atas kamu."

Yaitu Rasul itu Nabi Muhammad s.a.w. menjadi saksi pula di hadapan Tuhan kelak, sudahkah mereka menjalankan tugas mereka sebagai ummat yang menempuh jalan tengah, adakah kamu jalankan tugas kamu itu dengan baik , ataukah kamu campur-adukkan sajakah di antara yang hak dengan yang batil, sebab sifat tengahmu itu telah hilang.

Ummat Muhammad menjadi ummat tengah dan menjadi saksi untuk ummat yang lain, dan Nabi Muhammad s.a.w. menjadi saksi,pula atas ummat­nya itu adakah mereka jalankan pula tugas yang berat tetapi suci ini dengan baik ?

Maka setelah diketahui latar-belakang ini, mudahlah bagi orang yang berfikir mendalam apa sebab kiblat dialih. Peralihan kiblat bukanlah sebab, dia hanya akibat saja dalam hal membangunkan ummat yang baru, ummatan wasathan. Setelah itu, sebagai lanjutan dari ayat, Tuhan terangkanlah tentang maksud peralihan kiblat di dalam membangun ummatan wasathan;

وَ مَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَا
"Dan tidaklah kami jadikan kiblat yang telah ada enqkau atasnya."
Yaitu kiblat ke Baitul Maqdis yang satu tahun setengah lamanya Rasul berkiblat ke sana, ialu dialihkan kepada Ka'bah yang ada di Makkah:

إِلاَّ لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ
"Melainkan supaya Kami ketahui siapa yang mengikut Rasul dan siapa yang berpaling atas dua tumit­nya."

Kiblat yang asal adalah Ka`bah juga. Ayat-ayat yang terdahulu dari ini telah menerangkan panjang-lebar bahwa Ka'bah itu didirikan oleh Nabi Ibrahim. Dan jauh lebih tua dari Baitul Maqdis. Karena kiblat dikembalikan kepada asalnya, maka orang Yahudi selama satu setengah tahun bermegah dan merasa bangga, sebab hal itu mereka pandang adalah kemenangarr mereka. Dengan peralihan kiblat terbuktilah mana arang yang bertahan pada ujung, yang selama ini menunjukkan suka kepada Rasul lantaran kiblat menuju tempat yang disukai nya, yaitu orang Yahudi.

Setelah kiblat beralih, dia menunjukkan tantangan. Demikian pula kaum munafik, yang selalu mencari-cari saja soal-soaf yang akan mereka timpakan kesalahannya Kepada Rasul

وَ إِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً إِلاَّ عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللهُ
"Dan memanglah berat itu , kecuali atas orang yang diberi petunjuk oleh Allah."

Orang yang imannya ragu-ragu dan imannya tidak mendalam merasa berat atas terjadinya peralihan kiblat itu. Dirawikan oleh ibnu Jarir dan Ibnu Juraij, bahwa beliau ini berkata; Bahwasanya orang-orang yang baru masuk Islam, setelah kiblat dialihkan, ada yang kembali jadi kafir.

Mereka berkata: "Apa ini, sebentar ke sana, sebentar ke situ." Dan menurut suatu riwayat dari Imam Ahmad dan Abd bin humaid dan Termidzi dan lbnu Hibban dan at-Thabrani dan al-Nakim dari Ibnu Abbas, beliau berkata:
"Tatkala Rasulullah s.a.w. mengalihkan kiblat itu ada beberapa orang yang bertanya kepada beliau:' Ya Rasulullah , sekarang kiblat telah beralih. Bagaimana jadinya dengan orang-­orang yang telah mati, sedang di kala hidupnya mereka shalat berkiblat ke Baitul Maqdis ? Untuk menjawab pertanyaan itu datanglah lanjutan ayat:

وَ مَا كَانَ اللهُ لِيُضِيْعَ إِيْمَانَكُمْ
"Dan tidaklah Allah akan menyia nyiakan iman kamu. "

Artinya, bahwasanya orang­-orang yang mati sebelum kiblat beralih, adalah mereka itu beramal karena imannya juga. Amal mereka itu timbul daripada iman itu tidaklah akan disia-­siakan oleh Tuhan. Ketaatan mereka dan ibadat mereka yang khusyu' diterima juga oleh Allah dengan sebaik-baik penerimaan .

إِنَّ اللهَ بِالنَّاسِ لَرَؤُوْفٌ رَّحِيْمٌ
"Sesungguhnya Allah terhadap manusia adalah penyantun dan penyayang. " (ujung ayat 143).

Di ujung ayat ini teranglah dua sifat Allah yang penting untuk pedoman beramal. Pertama Tuhan Penyantun, tidak menyia-nyiakan amal hambaNya. Kedua Dia Penyayang, yaitu memberi ganjaran yang sepadan atas tiap-tiap amalan. Dan lagi berkiblat ke Baitul Maqdis sebelum perintah peralihan ke Makkah, tidaklah suatu kesalahan , melainkan ketaatan juga. Sedang orang musyrik jahiliyah yang hidup lampaunya penuh dosa, bila dia telah memeluk Islam, habislah diampuni dosanya yang telah lalu itu, apatah lagi bila amalan yang lama itu dilakukan dengan ketaatan juga.
Ayat 142 dan 143 ini belumlah perintah mengalihkan kiblat, melainkan baru sebagai peringatan kepada Rasul bahwa akan terjadi reaksi dan sanggahan kelak dari orang orang bodoh dangkal fikiran, yang bercakap asal bercakap padahal tidak bertanggung-jawab. Agar supaya Rasul bersiap-siap menghadapi­nya.
Dari Hal Kiblat II
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاء
"Sesungguhnya telah Kami lihat muka engkau menengadah-nengadah ke langit." (pangkal ayat 144).

Artinya, bahwasanya Kami (Allah) telah mem­perhatikan bahwa engkau selalu menengadah ke langit mengharap-harap, moga-moga Tuhan mengizinkan engkau mengalihkan kiblat ke Ka'bah. Me­nurut riwayat Ibnu Majah dari al-Bara', setiap akan shalat beliau menghadap­kan wajah ke langit, yang diketahui oleh Tuhan bahwa hati beliau amat rindu jika kiblat itu dialihkan ke Ka'bah. Tiap tiap Malaikat Jibril turun dari iangit atau naik kembali ke langit selalu Rasulullah mengikutnya dengan pandangannya, me­nunggu-nunggu bilakah agaknya akan datang perintah Tuhan tentang peralihan kiblat itu, sampai turun ayat ini:

"Sesungguhnya telah Kami lihat muka engkau menengadah-nengadah ke langit , sampai kepada akhir ayat:

فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا
"maka Karni palingkanlah engkau kepada kiblat yang engkau ingini."

Suatu keinginan yang timbul sebagai suatu risalat yang beliau bawa ke dunia ini, yaitu menyempurna­kan ajaran agama yang dibawa Nabi Ibrahim. Sebab "Wadin ghairi dzi-zar'in" atau lembah yang tidak ditumbuhi tumbuhan di dekat rumah Allah yang suci itu adalah pokok tempat bertolak pertama dari Nabi Ibrahim seketika beliau memulai risalatnya. Rumah itulah yang beliau jadikan pusat pertama dari seluruh mesjid tempat menyembah Allah Yang Tunggal.

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
"Sebab itu palingkan­lah muka engkau ke pihak Masjidil Haram."
Dengan perintah pada ayat ini maka mulai saat itu beralihlah kiblat dari Baitil Maqdis (rumah suci) yang di Palestina (Qudus ), yang didirikan oleh Nabi Sulaiman, kepada Masjidil Haram yang didirikan oleh Nabi Ibrahim, nenek moyang Sulaiman dan nenek-moyang Muhammad s.a.w. yang berdiri di Makkah:

وَ حَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهُ
"Dan di mana saja kamu semuanya berada palingkanlah muka kamu ke pihaknya."
Dalam suku kata perintah pertama disebutlah engkau yaitu perintah pertama kepada Nabi Muhammad s-a.w. dan dalam lanjutan perintah tersebutlah kamu, yaitu perintah kepada seluruh ummat Nabi Muhammad yang tadi telah disebut keistimewaannya, yaitu ummaton wasathan, ummat jalan tengah.

Dan di kedua perintah itu disebut syathr yang kita artikan pihak, atau dapat juga disebut jurusan. Artinya mulai sekarang alihkan kiblat kamu ke jurusan Masjidil Haram.

وَ إِنَّ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُوْنَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّهِمْ
"Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi kitab mengetahui bahwasanya itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka."

Artinya orang-orang Ahlul-Kitab Yahudi dan Nasrani, terutama orang-orang Yahudi yang tinggal di Madinah seketika ayat ini turun sesudah mengetahui, bahwa memang dari Ka`bah itu Nabi lbrahim sebagai nenek-moyang bangsa Syam (Semiet) yang menurunkan Bani Israil dan Bani Ismail memulai perjuangannya mendirikan Tauhid, kepercayaan tentang keesaan Allah. Kalau mereka kembali kepada pokok asal yaitu sejarah perkahwinan Ibrahim dengan Hajar, dan beliau membawa Hajar ke tempat suci itu, yang dengan beberapa kerat roti dan satu qirbat air sampai Hajar tersesat di Bersyeba, sampai Malaikat. Jibril datang membujuk Hajar dan mencegahnya dari rasa takut, sebab budak yang dalam kandungannya itu akan dijadikan Allah suatu bangsa yang besar; kalau semua­nya itu mereka ingat kembali, dan itu tertulis di dalam Kitab mereka sendiri (Kitab Kejadian, Pasal 21 dari ayat 13 sampai ayat 21), niscaya mereka tidaklah akan heran jika Nabi Muhammad s.a.w. diperintahkan mengembalikan kiblat kepada asalnya , karena mereka memang sudah mengetahui bahwa di sanalah tempatnya. Di ayat 21 Kejadian, Pasal 21 disebutkan nama tempat itu, yaitu Paran. Dan pembaca kitab Taurat tahu bahwa Paran itu adalah Makkah al­Mukarramah.

Lalu Tuhan bersabda pada ujung ayat:
وَ مَا اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ
"Dan tidaklah Allah melengahkan dari apapun yang kamu amalkan." (ujung ayat 144).
Artinya kesediaan dan kesetiaan kamu segera mengalihkan kiblat karena perintah Tuhan telah datang, tidaklah dilengah atau diabaikan oleh Tuhan. Bahkan sangat dihargai. Karena pelaksanaan perintah Allah dengan segera, adalah alamat dari iman yang teguh. Lalu datang lanjutan ayat seterusnya:

وَ لَئِنْ أَتَيْتَ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ بِكُلِّ آيَةٍ مَّا تَبِعُوْا قِبْلَتَكَ
"Dan meskipun engkau berikan kepada orang-orang yang diberi Kitab itu dengan tiap-tiap keterangan, tidak­lah mereka akan mengikuti kiblat engkau itu." (pangkal ayat 145).

Di ayat sebelumnya (144) dikatakan mereka telah mengetahui bahwa kiblat yang di Makkah memang lebih asal dan lebih patut, tetapi dalam lanjutan ini diperingatkan pula oleh Tuhan, meskipun mereka telah mengetahui sebab sebab peralihan kiblat itu, namun mereka tidaklah mau mengikut kamu, sebab mereka telah mempertahankan golongan, bukan mempertahankan kebenaran:

وَ مَا أَنْتَ بِتَابِعٍ قِبْلَتَهُمْ
"Dan engkaupun tidaklah akan mengikuti kiblat mereka,"
sebab perintah Tuhan sudah datang menyuruh alihkan kiblat.
Niscaya Nabi Muhammad s.a.w. dan ummatnya tidaklah akan mengikut kiblat pemeluk agama yang lain, sebab Tuhan telah menentukan kepadanya kiblat Masjidil Haram dengan wahyu:

وَ مَا بَعْضُهُمْ بِتَابِعٍ قِبْلَةَ بَعْضٍ
"Dan tidaklah yang sebahagian mereka .akan mengikut kiblat yang sebahagian."
Orang Yahudi tidaklah hendak mengikut kiblat orang Nasrani dan orang Nasranipun tidaklah akan mengikut kiblat orang Yahudi.

وَ لَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ مِّنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّكَ إِذَاً لَّمِنَ الظَّالِمِيْنَ
"Dan jikalau engkau perturutkan kemauan-kemauan mereka sesudah datang kepada engkau sebahagian dari pengetahuan, se­sungguhnya adalah engkau di masa itu dari orang-orang yang aniaya."(ujung ayai 145)

Artinya, garis yang akan beliau lalui sebagai seorang Rasul, terutama berkenaan dengan kiblat telah terang, yaitu kernbali menghadap kepada rumah suci yang telah didirikan oleh Nabi Ibrahim. Kalau menurut kemauan Yahudi hendaklah kembalikan ke Baitul Maqdis; niscaya ini tidak akan diperhatikan, meskipun telah banyak sanggahan atau gerutu yang mereka sampaikan. Se­orang Rasul sebagai pemimpin ummatnya tidak rnernpunyai pendirian yang ragu. Bagaimana Nabi Muhammad s.a.w. akan ragu, padahal peralihan kiblat itu adalah pengharapan dari beliau sendiri. Yang dituju dengan ujung ayat ini adalah sekedar penguatkan hati beliau dalam perjuangan yang maha hebat ltu, untuk diberikan teladan kepada ummat beliau buat sepanjang masa­

Bagaimana kemauan dari hawanafsu mereka akan diperturutkan? Padahal mereka sendiripun telah tahu bahwa dia inilah, Nabi Muhammad s.a.w., Nabi yang ditunggu-tunggu itu. Dijelaskan pada ayat yang selanjutnya:

اَلَّذِيْنَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُوْنَهُ كَمَا يَعْرِفُوْنَ أَبْنَاءَهُمْ
"Orang-orang yang diberi kepada mereka Kitab, mengenallah mereka akan dia sebagaimana rnereka mengenal anak-anak mereka (sendiri)." (pangkal ayat 146).

Artinya; baik dalam wahyu yang disampaikan oleh Nabi Musa, atau wahyu yang disampaikan oleh Nabi Isa Almasih, demikian juga wahyu yang disampaikan kepada Nabi yang lain, seumpama Yasy'iya, disebutkan bahwa akan datang Nabi itu. Tanda-tandanyapun akan disebutkan, dan dari kaum mana dia akan timbulpun akan disebutkan, sehingga mereka mengenalnya sebagaimana me­ngenal anak mereka sendiri. Tetapi mereka memungkiri itu, artinya mereka tafsirkan isi ayat kitab suci mereka kepada maksud yang lain: Memang seorang Nabi akan datang, tetapi bukan Muhammad ini!

وَ إِنَّ فَرِيْقاً مِّنْهُمْ لَيَكْتُمُوْنَ الْحَقَّ وَ هُمْ يَعْلَمُوْنَ
"Dan sesungguhnya se­bahagian dari mereka, mereka sembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui." (ujung ayat 146).

Inilah sebab terutama mengapa tidak akan dapat kecocokan. Inilah soal yang terutama mengapa soal kiblat menjadikan heboh mereka. Sebagian dari mereka telah sengaja menyembunyikan kebenaran. Ayat-ayat yang menyebut kan tentang kedatangan Rasul penutup itu, sampai sekarang ada dalam kitab-­kitab mereka itu. Tetapi kalau ditanyakan kepada mereka, tidak mau mereka berterus-terang mengakui kebenaran, jika yang ditanya orang Yahudi, mereka menjawab bahwa memang Nabi itu tersebut dalam Kitab, tetapi bukan ini. Kalau Yang ditanya orang Nasrani, kebanyakan mereka memberi arti bahwa bukan Muhammad s.a.w. Yang dijanjikan Isa Almasih akan datang. Kalau masih ada bertemu ayat-ayat itu dalam Injil-injil yang mereka akui sekarang ini, akan rnereka jawab bahwa yang dimaksud Nabi Isa bukanlah Muhammad, tetapi Rasul Paulus!
Tetapi Tuhan bersabda dengan tegas:

اَلْحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَلاَ تَكُوْنَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِيْن
"Kebenaran adalah dari Tuhan engkau, maka sekali-kali janganlah eng­kau termasuk dari orang-orang yang ragu." (ayat 147).

Tegasnya, memang engkaulah Rasul itu. betapapun mereka menyem­bunyikan kebenaran namun kebenaran datang dari Tuhan. Tidak ada satu kekuatan dalam dunia ini yang dapat menghalangi atau menyernbunyikan kebenaran itu.

Di dalam satu dari empat Injil yang mereka pegang hari ini, tersebut bahwa Nabi Palsu itu ada tandanya, yaitu seumpama kayu atau pohon yang buruk juga. Pohon yang buruk tidaklah akan menghasilkan buah yang baik. Pohon yang buruk akan habis ditumbangkan angin. Seratus kali mereka dengan kekuatan manusia, selama sejarah berabad-abad telah mereka coba menum­bangkan pohon yang mereka katakan buruk itu, tetapi dia tambah subur.

Sebagaimana pernah dikatakan oleh sarjana mereka sendiri, Sir Thomas Arnold, bahwa seteiah bangsa Mongol dan Tartar menghancurkan Baghdad dan membunuh Khalifah (1286), pada masa itu pula Islam masuk dan tersebar di pulau Sumatera dengan rnegah dan jayanya. Ditebas di sini, dia tumbuh di sana lebih subur dan lebih berkembang. Berkali-kali dia telah dipukul kalau se­kiranya bukan agama yang benar, dan kaiau Nabinya Nabi Palsu, demi pukulan dan penghancuran itu sudah lama dia hilang dari muka bumi. Tetapi tidak! Dia berkembang terus rnengambil tempatnya yang layak di dunia. Sebab dia memang kebenaran Tuhan.
Dari Hal Kiblat III
وَ لِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيْهَا
"Dan bagi tiap-tiapnya itu ada satu tujuan yang dia hadapi. " (pangkal ayat 148).
Ayat ini adalah lanjutan dari keterangan tentang masing-masing golongan yang mempertahankan kiblatny: tadi.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai tafsir ayat ini, ialah bahwa bagi tiap-tiap pemeluk suatu agama ada kiblatnya sendiri. Bahkan tiap-tiap kabilahpun mempunyai tujuan dan arah.sendiri, mana yang dia sukai. Namun orang yang beriman tujuan atau kiblatnya hanya satu, yaitu mendapat ridha Allah.
Abul `Aliyah menjelaskan pula tafsir ayat ini demikian: "Orang Yahudi mempunyai arah yang ditujuinya, orang Nasranipun mempunyai arah yang ditujuinya. Tetapi kamu, wahai ummat Muslimin, telah ditunjukkan Allah kepadamu kiblatmu yang sebenarnya."

Nabi lbrahim di zaman dahulu berkiblat ke Masjidil Haram, ummat Yahudi berkiblat ke Baitul Maqdis, ummat Nasrani berkiblat ke sebelah timur, dan Nabi-nabi yang lainpun tentu ada pula kiblat mereka menurut zamannya masing-masing, dan engkau wahai utusanKu dan kamu wahai pengikut utusan­Ku; kamu mempunyai kiblat. Tetapi kiblat bukanlah pokok, sebagai di ayat-ayat di atas telah diterangkan, bagi Allah timur dan barat adalah sama, sebab itu kiblat berobah karena perobahan Nabi. Yang pokok ialah menghadapkan hati langsung kepada Allah, Tuhan sarwa sekalian alam. itulah dia wijhah atau tujuan yang sebenarnya.

فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
"Sebab itu berlomba-lombalah kamu pada serba kebaikan."

Jangan kamu berlarut-larut berpanjang-panjang bertengkar per­kara peralihan kiblat. Kalau orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak mau me­ngikuti kiblat kamu; biarkanlah. Sama-sama setialah pada kiblat masing­-masing. Dalam agama tidak ada paksaan. Cuma berlombalah berbuat serba kebajikan, sama-sama beramal dan membuat jasa di dalam peri-kehidupan ini.

أَيْنَ مَا تَكُوْنُوْا يَأْتِ بِكُمُ اللهُ جَمِيْعًا
"Di mana saja kamu berada, niscaya akan dikumpulkan Allah kamu se­kalian."

Baikpun kamu dalam Yahudi, dalam Nasrani, dalam Shabi'in dan dalam iman kepada Muhammad s.a.w., berlombalah kamu berbuat berbagai kebajikan dalam dunia ini, meskipun kiblat tempat kamu menghadap shalat berlain-lain. Kalau kamu akan dipanggil menghadap kepada Aliah; tidak perduli apakah dia dalam kalangan Yahudi Nasrani, Islam dan lain-lain; berkiblat ke Ka bah atau ke Baitul Maqdis. Di sana pertanggung jawabkanlah amalan yang telah dikerjakan dalam dunia ini. Moga-moga dalam perlombaan berbuat kebajikan itu, terbukalah hidayat Tuhan kepada kamu, dan terhenti sedikit demi sedikit pengaruh hawanafsu dan kepentingan golongan; mana tahu, akhirnya kamu kembali juga kepada kebenaran;

إِنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
"Sesungguhnya Allah atas tiap-tiap sesuatu adalah Maha Kuasa."(ujung ayat 148).

Perlombaan manusia berbuat baik di dunia ini beiumlah berhcnti. Segala sesuatu bisa kejadian. Kebenaran Tuhan makin lama makin nampak. Allah Maha Kuasa berbuat sekehendakNya:
Ayat ini adalah seruan merata; seruan damai dari lembah wahyu ke dalam masyarakat manusia berbagai agama. Bukan khusus kepada ummat Mu­hammad saja. Kemudian kembali lagi kepada pemantapan soal kiblat itu:

وَ مِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
"Dan dari mana saja engkau keluar, hadapkanlah muka engkau kepihak Masjidil Haram."(pangkal ayat 149).

Artinya, meskipun ke penjuru yang mana engkau menujukan perjalananmu, bila datang waktu shalat, teruslah hadapkan mukamu ke pihak Masjidil Haram itu Ayat ini sudahlah menjadi perintah yang tetap kepada Rasulullah dan ummatnya terus-menerus di belakang beliau. Sebab itu ditegaskan pada lanjutnya-

وَ إِنَّهُ لَلْحَقُّ مِن رَّبِّكَ
"Dan sesungguhnya (perintah) itu adalah kebenaran dari Tuhan engkau. "

Tidak akan berobah lagi selama-lamanya:

وَ مَا اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ
"Dan tidaklah Allah lengah dari apapun yang kamu amalkan." (ujung ayat 149).

Artinya, kesungguhan kamu melaksanakan perintah ini, tidaklah Allah akan melengahkannya. Gelap malam tak tentu arah; lalu kamu lihat pedoman pada bintang-bintang, kamu kira-kira di sanalah arah kiblat lalu kamu shalat. Allah tidaklah melengahkan kesungguhan kamu itu.
Kamu datang ke negeri orang lain, kamu tanyakan kepada penduduk Muslim di situ; ke mana kiblat? Lalu mereka tunjukkan. Kamupun shalat. Allah tidak lengah dengan kepatuhan kamu itu.
Sengaja engkau beli sebuah kompas (pedoman), engkau kundang dalam sakumu ke mana saja engkau pergi. Lalu orang bertanya; buat apa kompas itu, padahal tuan bukan nakhoda kapal? Engkau jawab: penentuan kiblat jika aku shalat! Tuhan tidak melengahkan perhatianmu itu.

Kamu mendirikan mesjid yang baru. Yang lebih dahulu kamu ukur dan jangkakan ialah mihrab untuk menentukan jurusan kiblat. Allah tidak lengah dari kesungguhanmu itu.
Sampai ada di antara kamu yang khas belajar ilmu falak, yang pada asalnya sengaja buat mengetahui hal kiblat saja, sampai berkembang jadi ilmu yang luas. Allah tidak melengahkan kesungguhanmu itu.
Kemudian dijelaskan lagi:

وَ مِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
"Dan dari mana sajapun kamu keluar, maka hadapkanlah muka engkau ke pinak Masjidil Haram." (pangkal ayat 150).

ini adalah perintah khusus bagi beliau. Kemudian dijelaskan sekali iagi kepada seluruh ummat Muhammad s.a.w. supaya mereka pegang teguh peraturan itu di mana sajapun mereka berada.

وَ حَيْثُ مَا كُنْتُمْ
"Dan di mana sajapun kamu berada." Hai Ummat Muhammad s.a.w.

فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهُ
"Hendaklah kamu hadapkan muka kamu ke pihaknya."

Jangan diobah-obah lagi dan tidak akan berobah-obah lagi peraturan ini selama-lamanya. Baik sedang kamu di lautan; carilah arah kiblat, shalatlah menghadap ke sana. Baik kamu sedang di Kutub Utara atau Kutub Selatan, carilah arah kiblat dan shalatlah menghadap ke pihak sana. Di pangkal ayat dipakai engkau, untuk Muhammad. Di tengah ayat dipakai kamu , untuk kita ummatnya.

لِئَلاَّ يَكُوْنَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ
"Supaya jangan ada alasan bagi manusia hendak mencela kamu."
Karena penetapan kiblat itu sudah pasti diterima oleh manusia yang sudi menjunjung tinggi kebenaran. Sebagaimana tadi telah diterangkan, orang-orang yang keturunan kitab sudah faham akan kebenaran hal ini. Sebab rumah Allah yang pertama didirikan ialah Masjidil Haram di Makkah itulah mereka berkumpul tiap-tiap tahun mengerjakan haji, menjalankan wasiat nenek-moyang mereka Nabi Ibrahim. Pendeknya tidaklah akan ada bantahan dan sanggahan daripada orang yang berfikir sihat tentang penetapan kiblat itu.

إِلاَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْهُمْ فَلاَ تَخْشَوْهُمْ وَ اخْشَوْنِيْ
"Kecuali orang-orang yang aniaya di antara mereka, maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada Aku . "

Orang-orang yang aniaya, yang lidah tidak bertulang tentu akan ada saja bantahannya. Orang-orang yang aniaya dari kalangan Yahudi akan berkata:

"Muhammad memutar kiblatnya ke Ka'bah, padahal di sana berderet 360 berhala yang selalu dicela-celanya itu. Rupanya dia akan kembali agarna nenek-moyang orang Quraisy." Orang-orang yang aniaya di kalangan musyrikin akan berkata. "Dialihnya kiblat ke Makkah karena rupanya dia hendak menarik-narik kita atau telah insaf atas kesalahannya." Orang munafik di Madinah akan berkata: "Memang pendiriannya tidak tetap, sebentar begini sebentar begitu." Maka janganlah diperdulikan itu semuanya dan jangan takut akan serangan-serangan yang demikian, tetapi kepada Aku sajalah takut, kata Allah. PerintahKu sajalah yang akan dilaksanakan.

وَ لِأُتِمَّ نِعْمَتِيْ عَلَيْكُمْ وَ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْ
"Dan Aku sempurna­kan nikmatKu kepada kamu, dan supaya kamu mendapat petunjuk."(ujung ayat 150).
Di ujung ayat itu Allah membayangkan janjiNya, bahwa nikmat perihal kiblat itu akan disempurnakanNya. Nikmat pertama baru peralihan kiblat, padahal di Ka'bah waktu itu masih ada berhala. Tetapi Aku janjikan lagi, negeri itu akan Aku serahkan ke tangan kamu, Ka'bah akan kamu bersihkan dari berhala dan akan tetap buat selama-lamanya menjadi lambang kesatuan arah dari seluruh ummat yang bertauhid. Dalam pada itu petunjuk-petunjuk akan tetap juga Aku berikan kepada kamu sekalian.

Setelah selesai Perjanjian Hudaibiyah di tahun yang keenam, diulang lagi janjiNya oleh Allah bahwa kemenangan telah datang dan nikmatNya yang dijanjikan itu memang akan disempurnakan (lihat Surat al-Fath. Surat 48 ayat 2). Dan tahun kedelapan takluklah Makkah dan habislah berhala disapu bersih dari Ka'bah dan seluruh Masjidil Haram, bahkan dari seluruh Tanah Hejaz, dan tegaklah agama Allah dengan jayanya.

Maka ijma` (sefahamlah) seluruh ulama Islam , bahwasanya shalat meng­hadap kiblat Masjidil Haram adalah wajib. Cuma sedikit pertikaiannya, menjadi syaratkah daripada sahnya shalat atau tidak. Sebab pernah juga Nabi s.a.w. bersama sahabatrjya shalat malam hari pada suatu medan perang; setelah hari pagi kenyataan bahwa kiblatnya salah arah. Maka tidaklah beliau ulang kembali shalat itu.

Adapun tentang tepat atau tidaknya penghadapan, hendaklah kita fahami bahwa Agama Islam tidaklah agama yang memberati.
Sebab itu maka pada ayat-ayat perintah kiblat itu disebut syathr yang kita artikan pihak. Maka tersebutlah pada sebuah Hadits yang dirawikan oleh al­Baihaqi di dalam Sunnahnya, Hadis Marfu`:

http://kongaji.tripod.com/myfile/al-baqoroh_ayat_148-152_files/image004.jpg
"Baitullah (Ka'bah) adalah kiblat bagi orang-orang yang dalam mesjid. Dan mesjid adalah kiblat bagi orang-orang yang tinggal di Tanah Haram (sekeliling Makkah). Dan Tanah Haram (Makkah) adalah kiblat bagi seluruh penduduk bumi, timurnya dan baratnya; dari ummatku. "
Dengan adanya Hadits ini sudah mudahlah difahamkan tentang arti syathr yang kita artikan pihak atau jurusan itu. Dan dengan demikian dapat pula kita fahami bahwa agama tidaklah memerintahkan kita mengerjakan pekerjaan yang berat, yaitu supaya di manapun kita berada hendaklah tepat setepat­tepatnya wajah kita menghadap ke Baitullah. Karena yang demikian sangatlah sukar melakukannya, asal sudah kena saja jurusannya sudahlah cukup. Dalam hal ini zhan (kecenderungan persangkaan) sudah cukup untuk menentukan arah kiblat, sehingga orang yang belum mengerti benar-benar di mana jurusan kiblat, bolehlah menurut saja ke mana arah yang diberati persangkaannya.

Tetapi suatu kemusykilan karena beragama hanya tersebab pusaka nenek ­moyang belaka , telah terjadi pada bangsa Indonesia yang berpindah dan berdiam bertahun-tahun di Suriname. Ketika terbuka perkebunan-perkebunan besar di sana, pengusaha-pengusaha kebun itu telah membawa beratus-ratus kuli kebun dari Tanah Jawa. Setelah mereka berdiam beranak-cucu di sana, mereka mendirikan mesjid tempat mereka shalat. Tetapi kiblatnya mereka hadapkan ke barat, sebab mesjid-mesjid di Tanah Jawa menghadap ke barat. Padahal oleh karena letak mereka lebih ke barat dari jurusan Makkah, niscaya kiblat mereka yang sah ialah menghadap ke timur. Dan umumnya masyarakat yang mula-mula datang itu bukanlah orang-orang Indonesia terpelajar.

Setelah ada yang datang kemudian, yang jauh lebih cerdas, mereka inipun menyalahkan kiblat menghadap ke barat itu. Teguran ini rupanya menimbulkan perpecahan, sehingga ada mesjid yang berkiblat ke jurusan barat dan ke jurusan timur. Menurut khabar terakhir yang kita terima dari sana, kian lama kiblat ke barat itu kian surut jumlahnya karena sudah banyak yang cerdas dan ada yang telah naik haji ke Makkah.
Selanjutnya Tuhan bersabda:

كَمَا أَرْسَلْنَا فِيْكُمْ رَسُوْلاً مِّنْكُمْ
"Sebagaimana telah Kami utus kepada kamu seorang Rasul dari kalangan kamu sendiri." (pangkal ayat 151).

Tadi Tuhan telah menyatakan bahwa nikmatNya telah dilimpahkan kepada kamu, sekarang kamu telah rnempunyai kiblat yang tetap, pusaka Nabi Ibrahim, sebagaimana ummat-ummat yang lainpun telah mempunyai kiblat. Ini adalah suatu nikmat dari Allah, dan berlombalah kamu dengan ummat yang lain itu menuju kebajikan di dunia ini. Dan kamu tidak usah takut-takut akan gangguan dan kritik, baik dari Yahudi atau dari orang-orang yang masih jahiliyah yang akan mencela perubahan kiblat itu dengan caranya masing-masing karena safih, yaitu bercakap dengan tidak bertanggungjawab. Dan Tuhanpun telah menjanjikan pula bahwa nikmat ini akan Dia sempurnakan.

Di belakang perubahan kiblat akan menyasul lagi nikmat yang lain, yaitu satu waktu Makkah itu akan dapat kamu taklukkan. Di samping nikmat itu ada terlebih dahulu nikmat yang lebih besar, puncaknya segala nikmat, yaitu diutusnya seorang Rasul dari kalangan kamu sendiri.

يَتْلُوْ عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا
"Yang mengajarkan kepada karnu ayat-ayat Kami. "

yaitu perintah agar berbuat baik dan larang berbuat jahat:

وَ يُزَكِّيْكُمْ
"dan yang akan membersihkan kamu,"

bersih dari kebodohan dan kerusakan akhlak, bersih daripada kekotoran kepercayaan dan musyrik, sehingga kamu diberi gelar ummat yang menempuh jalan tengah di antara ummat-ummat yang ada dalam dunia ini:

وَ يُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَ الْحِكْمَةَ
"dan akan mengajarkan kepada karnu Kitab dan hikmat."

Kitab itu ialah al-Quran, yang akan menjadi pembimbing dan pedoman hidupmu di tengah-tengah permukaan bumi ini dan hikmat ialah kebijaksanaan dan rahasia-rahasia kehidupan, yang dicantumkan di dalam sabda-sabda yang dibawa oleh Rasul itu:

وَ يُعَلِّمُكُمْ مَّا لَمْ تَكُوْنُوْا تَعْلَمُوْنَ
"Dan akan mengajarkan kepada kamu perkara-perkara yang (selama ini) tidak karnu ketahui." (ujung ayat 151)

Dalam ayat ini diterangkan bahwa peralihan kiblat adalah-suatu nikmat, tetapi nikmat ini kelak akan disempurnakan lagi. Tetapi di samping itu sudah ada nikmat yang paling besar, yaitu kedatangan Rasul itu sendiri. Dengan berpegang teguh kepada ajaran yang dia bawa, derajatmu akan lebih baik lagi. Dari lembah jahiliyah dan kegelapan, kamu dinaikkan Tuhan ke atas martabat yang tinggi, dengan ayat-ayat, dengan Kitab dan dengan hikmat. Dan tidak cukup hingga itu saja, bahkan banyak lagi perkara-perkara yang tadinya tidak kamu ketahui, akan kamu ketahui juga berkat bimbingan dan pimpinan Rasul itu.

Maka banyaklah soal-soal besar yang dulunya belum diketahui, kemudian jadi diketahui, berkat pimpinan Rasul. Ada yang diketahui karena ditunjukkan oleh wahyu ilahi, seumpama kisah Nabi-nabi yang dahulu dan ummat yang dibinasakan Tuhan lantaran menentang ajaran seorang Rasul. Dan ada soal ­soal besar yang diketahui setelah melalui berbagai pengalaman, baik karena berperang ataupun karena berdamai. Dan diketahui juga beberapa rahasia yang hanya diisyaratkan secara sedikit oleh al-Quran; lama kemudian baru diketahui artinya.

BerNabi, berQuran, berkiblat sendiri yang tertentu, kemudian disuruh berlomba-lomba berbuat kebajikan. Dan tidaklah boleh takut atau berjiwa kecil menghadapi berbagai rintangan dan halangan. Dengan beginilah akan kamu penuhi tugas yang ditentukan Tuhan sebagai ummat yang menempuh jalan tengah.

Dengan ini telah timbul satu ummat dengan cirinya yang tersendiri, untuk jadi pelopor menyembah Allah Yang Esa. Ada orang yang hendak mencoba menimbulkan keraguan orang yang bukan Arab daripada isi ayat ini. Karena disebutkan bahwa Allah mengutus seorang Rasul di antara kamu. Kata mereka, ayat ini menunjukkan bahwa beliau hanya diutus kepada orang Arab, sebab yang dimaksud dengan karnu di sini ialah bangsa Arab.

Penafsiran yang seperti ini salah, ataupun disalah-artikan. Kalau difaham­kan secara demikian, tentu batallah maksud ayat-ayat yang lain, yang mengan­dung seruan kepada Bani Adam, atau kepada al-Insan, atau kepada an-Nas. Tentu batal pula ayat-ayat yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad s.a.w. diutus Tuhan adalah untuk Rahmat bagi seluruh alam Rahmatan lil-`Alamin.

Tentu orang-orang sebagai Shuhaib yang berbangsa Rum, ataupun Salman yang berbangsa Persia tidak akan menyambut seruan ini. Dan tentu Abdullah bin Salam orang Yahudi, atau Tamim ad-Dari dan Adi bin Hatim orang Nasrani tidak masuk Islam.

Yang dirnaksud dengan di antara kamu di sini, bukanlah di antara orang Arab saja, atau di antara Quraisy saja, melainkan lebih luas. Yaitu mengenai manusia seluruhnya. Nabi Muhammmad diutus dalam kaiangan manusia dan dibangkitkan di antara manusia sendiri; bukan dia Malaikat yang diutus dari langit. Dengan sebab beliau diutus di antara manusia, maka mudahlah bagi manusia meniru me-neladan sikap beliau.

فَاذْكُرُوْنِيْ أَذْكُرْكُمْ
"Maka ingatlah kepadaKu, niscaya Aku akan ingat pula kepadamu." (pangkal ayat 152).

Diriwayatkan oleh Abusy Syaikh dan ad-Dailami dari jalan Jubair diterimanya dari ad-Dhahhak, bahwa lbnu Abbas menafsirkan demikian: "Ingatlah kepadaKu, wahai sekalian hambaKu, dengan taat kepadaKu; niscaya Akupun akan ingat kepadamu dengan memberimu ampun."

Dan ditambah pula tafsirnya oleh Abu Hindun ad-Dari, yang dirawikan oleh lbnu `Asakir dari ad-Dailami, menurut sebuah hadits: "Maka barangsiapa yang ingat akan Daku, dan diikutinya ingat itu dengan taat, maka menjadi kewajibanlah atasKu membalas ingatnya itu dengan mengingatnya pula, de­ngan jalan memberinya ampun. Dan barangsiapa yang ingat kepadKu, tetapi dia berbuat durhaka (maksiat), Akupun akan mengingatnya pula dengan menimpakan ancaman kepadanya."

وَ اشْكُرُوْا لِيْ وَلاَ تَكْفُرُوْن
"Dan bersyukurlah kepadaku, dan janganlah kamu menjadi kufur." (ujung ayat 152).
Bersyukurlah atas nikmat-nikmat yang Dia limpahkan, yaitu dengan jalan berterima-kasih dan mengucap syukur, Ucapan itu bukan semata mata dengan mulut, melainkan terbukti dengan perbuatan.

Karena suatu nikmat apabila telah disyukuri, Tuhan berjanji akan menambahnya lagi. Dan janganlah sampai berbudi rendah, tidak mengingat terima kasih. Tidak syukur atas nikmat adalah suatu kekufuran. Kalau nikmat yang telah dianugerahkan Allah tidak disyukuri, mudah saja bagi Allah mencabutnya kembali, dan meng­hidupkan kita di dalam gelap.

Meskipun Rasul sudah diutus, ayat sudah diberikan, al-Qura'n sudah diwahyukan, hikmat sudah diajarkan dan kiblat sudah terang pula, semuanya tidak akan ada artinya kalau tidak ingat kepada Allah (zikir) dan bersyukur. Orang yang tidak mensyukuri nikmat Tuhan yang telah ada, tidaklah akan rnerasai nikmat Islam itu. Maka zikir dan syukur, adalah dua pegangan teguh yang banyak diterangkan di dalam al-Quran dan Sunnah Rasulullah s.a.w.