PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA RISALAH NABI MUHAMMAD SAW DENGAN NABI-NABI SEBELUMNYA
Kehadiran Islam tidak sekedar bentuk ritual dan komunitas baru, tetapi misi besar Islam adalah melahirkan sebuah peradaban yang berdiri di atas pilar-pilar rukun Islam
Kehadiran Islam tidak sekedar bentuk ritual dan komunitas baru, tetapi misi besar Islam adalah melahirkan sebuah peradaban yang berdiri di atas pilar-pilar rukun Islam
Apakah Nabi Muhammad membawa agama yang baru? Jawabannya tergantung dari mana melihatnya. Bagi orang yang berpandangan bahwa risalah yang dibawa Nabi Muhammad adalah sebagai koreksi total terhadap ajaran agama yang dianut umat manusia sebelumnya dan berpandangan bahwa agama Islam sama sekali baru maka tentunya dapat disebut Rasulullah SAW membawa agama yang baru.
Akan tetapi juga, apabila seseorang berpendapat bahwa dasar akidah yang disampaikan Nabi Muhammad SAW adalah juga akidah yang diajarkan oleh nabi-nabi sebelumnya maka ajaran yang dibawa Nabi Muhammad bukanlah yang baru karena ini lebih dilihat sebagai hikmah ilahiah untuk melakukan pemurnian terhadap akidah tauhid dari penyelewengan yang dilakukan umat sebelumnya.
Karen Amstrong, seorang orientalis yang banyak melakukan kajian terhadap Islam, berpandangan ajaran yang dibawa Nabi Muhammad sangat sederhana. Ia tidak membawa doktrin baru kepada bangsa Arab tentang Tuhan karena pengetahuan tentang Tuhan sebagai Pencipta telah diketahui orang Quraisy, bahwa Allah yang menciptakan dunia dan segala isinya serta juga akan mengadili manusia di hari akhir.
Rasulullah memperkuat kembali keyakinan terhadap keesaan Allah (zat, sifat, af’al) yang telah tenggelam akibat keterkungkungan akal manusia terhadap keduniaan karena dunia menjadi tujuan akhir kehidupan. Atas dasar itu, manusia dikendalikan oleh hawa nafsu yang berakibat kehidupan mereka mengalami kesengsaraan.
Keadilan sosial menjadi nilai kebaikan utama dalam ajaran Islam oleh karena itu Islam dapat berkembang dengan demikian cepat karena salah satu alasannya Islam telah tampil sebagai kekuatan pembebas yang membebaskan umat manusia ketika itu dari perilaku ketidakadilan.
Di antara bentuk ketidakadilan itu adalah berubahnya fungsi agama menjadi pendudukung feodalisme sehingga disebut religio feodalisme. Seorang muslim yang kaya dapat menjadi manusia paripurna karena menggunakan sebagian hartanya untuk menolong orang lain yang sangat membutuhkan melalui zakat, infak, sadaqah, wasiat dan lain sebagainya.
Pertolongan orang kaya kepada orang miskin adalah sebagai aktualisasi dari kesadaran amanah. Harta ataupun segala kelebihan yang diperoleh manusia bukanlah kepemilikan absolut tetapi tidak lebih dari sekedar titipan dari Allah. Kenikmatan duniawi adalah anugerah Allah untuk dimanfaatkan oleh seorang pemilik harta untuk dirinya demikian juga untuk orang lain.
Idealnya, ciri seorang Muslim adalah mengutamakan kepentingan saudaranya yang lain sekalipun ia sendiri memiliki kepentingan (Q.S.Al Hasyr [59]: 9). Sebaliknya pula, orang yang miskin juga berpeluang untuk menjadi Muslim paripurna apabila di dalam kepapaannya justru semakin mendekatkan dirinya kepada Allah.
Oleh karena itu, status sosial tidak menjadi ukuran kedekatan kepada Allah. Struktur kesetimbangan (equilibrium) masyarakat itu kemudian mendorong setiap orang Islam untuk bersama-sama membangun masyarakat (ummah) sebagai miniatur nasion untuk menjadi tempat persemaian nilai-nilai kebaikan yang kelak kemudian membentuk peradaban Islam.
Di sinilah bertemunya Islam dengan kebangsaan. Kehadiran Islam tidak sekedar sebagai bentuk ritual dan komunitas baru akan tetapi misi besar Islam adalah melahirkan sebuah peradaban yang berdiri di atas pilar-pilar rukun Islam.
Wujud peradaban ini adalah merupakan tugas untuk memuliakan Allah melalui pemuliaan terhadap hambaNya yang bernama manusia. Proses membangun peradaban itu didisain dengan tiga karakter yaitu egaliter, yang sangat menekankan persamaan derajat dalam seluruh segi pengamalan ajaran Islam.
Inti dari persamaan derajat ini adalah setiap Muslim tanpa melihat asal usul ras, budaya memiliki peluang yang sama untuk menjadi Muslim paripurna. Karakter berikutnya adalah bangunan ajaran Islam sangat sederhana tidak memakai berbagai atribut yang rumit yang dilambangkan dengan kesederhanaan bangunan Ka’bah namun memiliki makna yang dalam terhadap keesaan Allah dan cita-cita persatuan umat manusia.
Karakter kesederhanaan itu kemudian diberi landasan logika penalaran. Penalaran yang benar dalam pandangan Islam adalah manakala ilmu tidak lepas dari bimbingan dan penyinaran wahyu.
Oleh karena itulah, ingatan yang terus menerus kepada Allah (zikr daim) dan penalaran dengan logika (fikr) adalah yang dapat mendorong setiap Muslim memikirkan alam semesta, merenungkannya dalam pengalaman nurani dan menghasilkan pernyataan bahwa semua ciptaan allah tidak ada yang sia-sia dan akhirnya memanjatkan doa ya Tuhan kami, peliharalah kami dari api neraka (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 191).
Kegiatan penalaran yang tidak dibimbing oleh wahyu pastilah akan terjerumus kepada penyakit-penyakit hati yang tidak terhitung banyaknya antara lain terlalu merasa percaya diri (‘ujub), terlalu gembira dengan prestasi yang dioperolehnya (riya), tidak suka orang lain memperoleh keberhasilan (hasad) selalu mencari sisi kelemahan orang lain (tajassus) dan lain sebagainya.
Karakter yang ketiga adalah bahwa seluruh komponen dari bangunan Islam adalah mendorong umatnya kepada kemajuan. Kemajuan yang diraih manusia tidak dilihat kurangnya pada peroleh kemajuan di bidang materi akan tetapi kemajuan yang selalu menyadari keagungan ilahi.
Dalam pandangan moderen, kemajuan lebih sering dipahami sebagai bidang kemajuan materi. Cara berpikir yang demikian akan menjerumuskan manusia kepada bencana kehidupan karena akan mendorong terjadinya berbagai ketimpangan sosial.
Kondisi ini pada akhirnya adalah merupakan faktor utama terjadi konflik karena setiap orang mendahulukan egonya atas nama kebebasan hak asasi manusia sekalipun hal itu bersinggungan dengan hak asasi orang lain. Syariat puasa menuntun orang untuk kembali kepada jati dirinya dengan bersikap seimbang (tawazun), tegak dalam prinsip (i’tidal) dalam bangunan kehidupan masyarakat yang selalu berada pada posisi jalan tengah.“Perumpamaan aku dengan nabi sebelumku,” sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi was salam, “Ialah seperti seorang lelaki yang membangun sebuah bangunan. Kemudian ia memperindah dan mempercantik bangunan tersebut, kecuali satu tempat batu bata di salah satu sudutnya. Ketika orang-orang mengitarinya, mereka kagum dan berkata, ‘Amboi, jika batu bata ini diletakkan?’”
Rasulullah memaksudkan bahwa orang-orang yang mengitari bangunan tersebut kagum terhadap keindahan dan kecantikan bagunan tersebut. Namun, mereka mendapati bahwa bangunan itu ada kekurangan di salah satu sudutnya. Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi was salam menutup sabdanya dengan menjelaskan bahwa beliau ibarat batu bata itu di sudut bangunan itu. Beliau juga menjelaskan makna perumpamaan bangunan dan batu bata tersebut terkait dengan diutusnya beliau sebagai rasul.
“Akulah batu bata itu,” sabdanya, “Dan akulah penutup para nabi.”
Nukilan pernyataan Rasulullah shalallahu ‘alaihi was salam yang tercantum dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim tersebut menunjukkan keistimewaan risalah yang beliau bawa dan keistimewaan beliau diantara nabi dan rasul yang lain.
Dengan demikian, maka kita dapat mengambil satu kesimpulan pokok yang sangat penting bahwa setelah Rasulullah shalallahu ‘alaihi was salam wafat, maka tidak ada lagi rasul ataupun nabi, baik yang mengaku membawa syariat baru ataupun yang mengaku menerima wahyu. Semua yang mengaku-ngaku itu jelaslah hanya berdusta semata karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi was salam telah menggariskan satu kaidah dasar dalam agama Islam bahwa tidak ada lagi nabi, rasul, ataupun penambahan dan pengurangan syari’at.
Jadi, orang-orang yang selama ini mengaku sebagai nabi atau rasul dapat dipastikan hukumnya yaitu kafir terhadap risalah yang dibawa Muhammad shalallahu ‘alaihi was salam.
Perlu kita ketahui pula bahwa antara apa yang dibawa Muhammad shalallahu ‘alaihi was salam dan nabi-nabi sebelumnya ada beberapa hal yang sama. Seperti yang disampaikan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi was salam sendiri dalam hadits di atas, risalah kenabian beliau adalah sebagai penegasan dan penyempurnaan terhadap risalah da’wah yang dibawa oleh rasul-rasul sebelumnya.
Disebutkan dalam Fikih Sirah Al Buthi, da’wah para nabi didasarkan pada dua asas utama. Pertama, aqidah. Jadi, aqidah yang dibawa oleh Nabi Adam, rasul pertama Nabi Nuh, hingga Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi was salam adalah sama. Esensi aqidah mereka adalah iman kepada wahdaniyah Allah, mensucikan Allah sesuai sifatnya, hari akhir, hisab, neraka, dan surga.
Setiap rasul yang datang kepada ummatnya senantiasa datang dengan membenarkan risalah nabi sebelumnya dan memberikan kabar gembira akan datangnya kenabian sesudah dirinya. Demikianlah terus-menerus saling menyambung kabar gembira itu hingga risalah kenabian terakhir, risalah yang dibawa oleh Muhammad shalallahu ‘alaihi was salam.
Dalam Al Qur’an Asy Syura’ ayat 13, Allah berfirman kepada Muhammad shalallahu ‘alaihi was salam, “Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang diwasiatkanNya kepada Nuh, dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu tegakkan agama, dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya.”
Dengan demikian, tidak mungkin akan ada perbedaan aqidah antara satu nabi dengan nabi yang lain. Sedangkan perbedaan aqidah antara Islam, Nashrani, dan Yahudi saat ini, lebih banyak dikarenakan dua agama sebelumnya itu banyak melakukan pelanggaran dan penyelewengan dalam bidang aqidah dan hukum oleh para penganutnya. Padahal, saat datang dan turun bersama nabi-nabinya, dua agama ahlul kitab ini juga merupakan agama Islam.
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang diberi Al Kitab, kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka…” (QS Ali Imran: 19)Kedua, asas syari’at dan akhlak. Seluruh hukum yang dibawa oleh para rasul itu bertujuan untuk mengatur kehidupan masyarakat dan pribadi. Namun, tentang tata cara dan jumlahnya menyesuaikan dengan kondisi ummat tersebut karena risalah-risalah kenabian sebelum risalah Muhammad shalallahu ‘alaihi was salam hanya dikhususkan untuk ummat tertentu. Misalnya Nabi Musa yang khusus diutus untuk Bani Israil menerapkan syariat dengan asas yang kuat dan tegas dikarenakan sifat dan karakter Bani Israel yang suka melanggar dan membangkang. Setelah beberapa waktu, diutuslah Nabi Isa pada Bani Israel dengan membawa syari’at yang lebih mudah dan ringan dalam hukum bagi Bani Israel.
“Dan (aku datang kepadamu) membenarkan Taurat yang datang sebelumku, dan untuk menghalalkan bagimu sebagian yang telah diharamkan untukmu..” (QS Ali Imran: 50)Jadi, soal aqidah, Nabi Isa membenarkan apa yang ada di dalam Taurat, tapi mengenai syari’at ia telah ditugaskan untuk mengadakan beberapa perubahan, penyederhanaan, dan penghapusan sebagian hukum syari’at yang memberatkan mereka. Dan apa yang ada di dalam syari’at yang dibawa oleh Nabi Isa pun, juga ada yang dihapuskan oleh risalah Nabi Muhammad, misalnya kehalalan mengambil harta rampasan perang yang diharamkan pada syari’at Nabi Isa.
Risalah yang dibawa Muhammad shalallahu ‘alaihi was salam juga memiliki keistimewaan dari segi peruntukan. Jika, nabi-nabi sebelumnya membawa risalah khusus untuk ummat tertentu, maka risalah kenabian Muhammad shalallahu ‘alaihi was salam diperuntukkan bagi seluruh ummat hingga hari kiamat. Allah subhanahu wa ta’ala telah mengamanahkan beban risalah ini hanya kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi was salam.
“Dan andaikata Kami menghendaki, benar-benarlah Kami utus pada tiap-tiap negeri seorang yang memberi peringatan (rasul).. (QS Al Furqan: 51)Dalam Fikih Sirah Az Zaid dijelaskan bahwa Allah bisa saja mengutus seorang nabi untuk satu negeri pada masing-masing massa, tapi ternyata Allah menghendaki agar risalah Islam hanya diemban oleh seorang rasul saja, agar tampak keutamaannya atas risiko beban da’wah yang teramat berat tersebut karena risalahnya menyeluruh, dan pahalanya besar karena perjuangannya juga sangat berat.
Risalah kenabian Muhammad shalallahu ‘alaihi was salam juga ditujukan kepada dua jenis makhluk, yakni manusia dan jin.
“Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al Qur’an, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka berkata, ‘Diamlah kamu (untuk mendengarkannya).’ Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan.” (Al Ahqaf: 29)Da’wah atas risalah kenabian Muhammad shalallahu ‘alaihi was salam tidak terputus dengan berhentinya wahyu dan risalah. Bahkan da’wah tersebut berlanjut hingga hari kiamat nanti. Dan Allah menjaga agama Islam ini dengan menjaga kesucian Al Qur’an dari pengurangan, penggantian, penambahan, dan perubahan terkait keaslian Al Qur’an.
Allah juga akan senantiasa memunculkan sekelompok manusia dari umat Muhammad shalallahu ‘alaihi was salam yang senantiasa berkomitmen dengan jalan kebenaran. Sebelumnya, ummat terdahulu jika menyimpang dari syari’at Allah, maka akan diutus seorang nabi untuk meluruskan mereka kepada jalan kebenaran. Namun, jika ada diantara ummat Muhammad ada yang mengubah agama Allah, maka Allah akan memunculkan generasi lain yang meluruskan kesalahan mereka dan memperbarui agama ini sesuai ketika agama ini turun, karena ummat ini tidak akan seluruhnya bersepakat dalam masalah kesesatan dan kesalahan.
Nabi shalallahu ‘alaihi was salam bersabda, “Sekelompok dari umatku akan senantiasa muncul, mereka komitmen dengan kebenaran, kelompok yang mengucilkan tidak akan membahayakan mereka hingga datanglah ketetapan Allah, sementara mereka dalam kondisi seperti itu.” (HR Bukhari dan Muslim)Oleh karena itu, ummat Muhammad adalah ummat yang mulia karena memiliki karakter yang tidak dimiliki oleh ummat sebelumnya, yaitu mereka adalah ummat yang terjaga (ma’shum) dari melakukan kesepakatan kesesatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar